Wednesday, November 18, 2009

Nias Propinsi Tahun 2012

Nias: Propinsi Tahun 2012?

Posted by niasbaru on October 9, 2007

Oleh: Marinus Waruwu

Tahun 1929, Vatican yang merupakan negara di dalam kota Roma diakui kedaulatannya sebagai sebuah negara merdeka, berdaulat oleh Benito Mussolini (Pemimpin Italia) pada waktu itu. Adalah negara kota terkecil di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 6000 jiwa, dengan luas wilayah 0,17 mil2 atau 0,4 Km2. Pada tahun 1984, menyusul Brunai Darussalam merdeka dari jajahan kolonial Inggris. Jumlah penduduknya secara keseluruhan sekitar 300.000 jiwa, dan luas wilayah 5.765 Km2. Dan pada tahun 1999, Timor-timur yang sebelumnya bagian NKRI lepas dan mendirikan negara sendiri. Jika dilihat dari segi jumlah penduduknya, Timur-timur hampir sama dengan Pulau Nias sekitar 700.000 jiwa penduduk.

Bagaimana dengan Nias kita? Apakah Nias bisa seperti Vatican, Brunei, ataupun Timor-timur? Jika di lihat dari segi jumlah penduduk berdasarkan konsensus tahun 2007 ini, jumlah penduduk Nias sekitar 800.000 jiwa. Dan luas wilayahnya mungkin beberapa ratus kali lipat lebih luas jika dibandingkan dengan luas negara Vatican. Bisa dikatakan, secara geografis, jumlah penduduk, dan mungkin saja ekonomi, Nias hampir memenuhi syarat-syarat menjadi sebuah negara berdaulat.

Tulisan diatas hanyalah perbandingan saja. Bukan dalam arti, Nias harus merdeka atau berdaulat dengan mendirikan negara seperti Vatican, Brunei, dan Timor-timur. Namun, kita orang Nias terutama kaum mudanya layak bertanya: kenapa Vatican, Brunei, Timor-timur bisa menjadi negara mandiri? Apa kelebihan mereka? bukannya setiap hari, kita sama-sama makan roti (bagi yang makan roti), dan makan nasi (bagi yang makan nasi)?. Kok kenapa mereka bisa? Apakah Tuhan itu adil atau tidak adil sih? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menggugah sekaligus membuat kita malu.

Hanya keajaiban! Hanya Keajaiban Sang Kahliklah, Nias dapat menjadi sebuah negara. Dan jangankan menjadi sebuah negara berdaulat dan merdeka. Masalah Pemekaran Pulau Nias menjadi beberapa kabupaten saja sangat berbelit-belit, sarat pertengkaran, saling tusuk, dan diam-diam mengkhianati teman dari belakang, yang tidak lain adalah teman seperjuangannya. Apalagi menjadikan Nias menjadi Propinsi mandiri, mungkin sesuatu hal yang tidak mungkin. Dan tidak pernah terwujud. Namun pernahkah kita bermimpi tentang masa depan Pulau Nias kita tercinta. Masa depan yang sejahtera, damai, dan beriman. Ataupun bermimpi bahwa tahun 2012, Nias kita tercinta akan menjadi Propinsi tersendiri. Mungkin saja cita-cita tersebut hanya sebuah cita-cita dan tidak pernah terwujud. Dan bisa juga cita-cita ini, walaupun kelihatan aneh, tapi kalau sudah waktunya Pulau Nias menjadi sebuah Propinsi mandiri, kenapa tidak. Itu sah-sah saja. Akan tetapi, untuk menuju ke sana, menjadi sebuah Propinsi bukanlah hal yang gampang, mudah. Paling tidak butuh proses. Dan prosesnya panjang sekali. Sah-sah saja, saya sebagai kaum muda Nias punya mimpi dan cita-cita bahwa tahun 2012, Nias akan menjadi Propinsi tersendiri. Namun proses menuju ke sana harus diperhatikan dan menjadi prioritas utama. Paling tidak para pejabat daerah Nias, atau orang Nias yang telah berhasil di perantauan, dan tentu saja Kaum Muda-Mudi Nias sendiri. Proses itu antara lain: Pertama, Bidang Pendidikan. Bidang ini mau tidak mau, harus menjadi salah satu prioritas pemerintahan daerah Nias. Tahun-tahun terakhir, Nias terkenal dengan ketertinggalanya dalam bidang pendidikan. Hampir 60 % kaum Muda-mudi Nias belum mencicipi dunia pendidikan. Faktornya ada banyak. Mulai dari ketiadaan biaya hingga orang tua yang lebih memilih menikahkan anaknya pada umur yang sangat mudah di banding menyekolahkannya. Karena itu, pemerintahan daerah perlu menyadarkan dan juga membantu orang tua Kaum Muda-mudi Nias dalam menyekolahkan anaknya. Atau hasil APBD daerah, sebaiknya sebagian besarnya dialihkan ke sektor pendidikan. Misalnya: pendapatan APBD dialihkan ke sektor pendidikan sebesar 25 %. Kedua, Kekayaan alam. Sebetulnya, di daerah Nias ada banyak kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Mulai dari hasil laut, pertanian, dan juga peternakan. Sayangnya, tidak benar-benar dimanfaatkan. Dan malahan orang lain (orang dari luar) yang menikmatinya. Dan bukan Orang Nias. Di tambah lagi masih kurangnya pengetahuan masyarakat nias, dalam hal mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam sehingga masih berkutat dengan cara tradisionalnya. Kekayaan alam Nias baik dari laut, pertanian, dan lain-lain, sebenarnya sangat berpotensi memajukan manusia-manusia nias jika sungguh-sungguh dimanfaatkan. Tapi karena masih bergulat dengan kebodohannya, ya apa boleh buat. Kita lebih baik merenungkan diri sendiri dan keluarga, anak dan isteri. Dari pada memikirkan hal-hal yang muluk-muluk. Inilah adalah ciri orang yang tidak punya usaha dan perjuangan. Dan orang nias jangan seperti itu. Karena itu, pemerintahan daerah nias, perlu mengundang orang-orang profesional baik dari luar nias maupun putera daerah nias yang telah berhasil untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat nias. Misalnya: cara berkebun, dan bertani yang efisien dan efektif, cara beternak yang canggih, dan juga perikanan. Karena sebagian besar warga kita di nias masih menggunakan cara tradisionalnya. Sehingga hasilnya juga sangat pas-pasan. Artinya tergantung rejekilah. Ketiga, Bidang Pemerintahan. Presiden SBY beberapa tahun lalu kadang mengeluh. Kenapa? Sebagian besar pejabat daerah kerjanya bukan mengurus masyarakatnya, akan tetapi sibuk dengan perjalanannya ke luar kota. Alasannya banyak. Ada yang rapat di jakarta, yang sebetulnya tidak ada rapat., hanya jalan-jalan saja. Dan ada alasan bahwa neneknya meninggal di jakarta. Ini adalah ciri-ciri para pejabat yang kurang peduli akan tanggung jawabnya. Rakyatnya mati kelaparan, eh malah jalan-jalan ke Jakarta. Dan mencari kesenangan pribadi. Akibatnya, uang APBD semakin menipis, dan jejaknya tidak kelihatan oleh rakyat. Karena itu, pemerintahan daerah nias harus benar-benar efektif dan punya prioritas dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Nias. Dan bukan berlaku sebagi seorang raja, atau seolah-olah sebagai seorang super sibuk, padahal bukan untuk masyarakat. Akan tetapi untuk dirinya dan keluarganya. Keempat, Watak, Sifat, dan Perilaku. Di mana-mana baik kaum religius, maupun aparat pemerintahan yang pernah bertugas maupun berkunjung ke Nias, keluhannya selalu sama: “Orang Nias suka berkhianat, sukar berterima kasih, orang-orangnya pemalas, suka berkelahi, bodoh dan banyak lagi. Apakah image ini benar? Kalau hanya orang Jawa misalnya, yang mengatakannya, saya tidak percaya. Tapi, masalahnya hampir semua orang baik orang asing maupun suku-suku lain selalu mengatakan hal yang sama. Jika benar, orang nias harus berubah. Ini adalah hambatan untuk meraih masa depan sejahtera, damai dan beriman. Caranya, melalui pendidikan dalam keluarga. Orang tua punya kewajiban mendidik anak-anaknya kearah yang baik, yang berguna, bermanfaat. Dan bukan mengajarkan hal-hal yang mengancam hidup anak-anak itu di kemudian hari, misalnya minum-minuman keras, berlelahi, mencuri, dan sebagainya.

Kita tidak perlu mencita-citakan sebuah Nias yang merdeka, menjadi propinsi tersendiri, atau dibagi menjadi berpuluh-puluh kabupaten. Yang utama adalah kita mengubah diri kita dulu. Mengubah karakter, watak, yang kekanak-kanakan. Nias saat ini, benar-benar butuh obat. Bukan obat sakit kepala. Tapi, obat untuk tidak hanyut dalam sifat kenak-kanakannya. Nias sangat butuh motivasi. Motivasi menatap masa depan untuk generasi sesudahnya. Dan membuang jauh-jauh sikap ke-ono-niha-nya seperti yang telah diutarakan diatas. Jika kita mampu menyangkal ini semua, maka kita akan berani pula bercita-cita mengenai hal-hal yang mulia. Amin



This entry was posted on October 9, 2007 at 5:12 am and is filed under Filsafat. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
5 Responses to “Nias: Propinsi Tahun 2012?”

1.
Cornel Lawolo said
January 17, 2008 at 5:18 am

Saya punya bertanyaan berkaitan dengan impian dari tulisan diatas: Apakah nias bisa menjadi propinsi tahun 2012?, sedangkan pemekaran daerah nias saja tersendat2. Lagian, para epjuangnya saling berantam uh….
Reply
2.
Giafita daeli said
February 29, 2008 at 3:59 am

Talifogu fefu ba abolo utandrosaigo kho dalifusogo yang memberi komnetar no. 1. Bahwa : benar ira talifusoda yang (katanya) memperjuangkan pemekaran Kabupaten Nias saling berantam . Secara kasar (maaf) lawa’o ba khoda “faboge-boge” mano. Saya mengikuti di Niasisland. com dan Nias Barat WordPress, terus terang :aila ita. Itu sebabnya saya jarang memberi pendapat. Malah pernah saya dikatakan sombong, angkuh, karena saya mengingatkan : supaya dunia maya ini kita manfaatkan untuk saling kenal demi menyatukan langkah membangun Nias. Mau apa berantam dengan orang (sebagian besar) yang tidak kenal, hanya pakai nama palsu dan alamat palsu. Lucu …bukan ? Ada lima surat yang menanggapi saya dengan mengatakan saya sombong dan angkuh. Diberikan alamat email palsu sehingga jantung saya rasanya gatal karena tidak bisa menjawab langsung. Saya tidak mau debat kusir di dunia maya.

Akan tetapi hal itu jangan memperlemah kita yang “sadar”. Saya memiliki keyakinan bahwa Nias akan dapat mengejar ketertinggalannnya selama ini. Dan apabila cepat SADAR para pemuda-pemudinya sekarang ini, jangan diperhatikan pejabat sekarang seperti Bupati, Anggota DPRD, dan pejabat lainnya yang kenyataan dewasa ini lebih mementingkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya, maka Nias dapat mencapai yang saya yakini itu dalam tempo 5-10 tahun. Mengapa saya katakan demikian, karena anak-anak kita yang serius, bekerja keras dirantau (di luar P. Nias) dan (agak) jauh dari kelompok sendiri maju dan dihargai oleh suku lain dan oleh pimpinan tempat mereka bekerja.

Pengalaman saya selama dirantau, juga iraonoda ni’ilagu, he ba luar negeri semua tidak dibawah prestasi suku-suku atau pun bangsa lain.

Memang sifat niha khoda, semua mau menonjol. Itu bagus, bagus, dan bagus sekali (meniru Hetty Kus Endang di Indosiar)apabila dilandasi paradigma yang baik. Tidak paradigma fadoni ahe, fatiusa, fa ya’o (ono zalawa, ono niha sikayo), lebih senang menerima dari memberi, dan seterus-dan seterusnya yang tidak terpuji.

Kesimpulan isi hati saya : Ono Niha harus segera sadar. Ono Niha harus segera bangun. Harus segera memiliki kesadaran (awareness) dan menyadari kebaikan dan keindahan sesuatu yang disebut Ono Niha dalam Negara Indonesia serta keberadaan (eksistensi) manusia.

Saohagolo. Ya’ahowu !

Giafita Daeli
Reply
3.
Dapati Giawa said
March 12, 2008 at 4:30 pm

Silahkan saudara-saudaraku bermimpi; bikin negara, bahkan bikin surga pun boleh – pada sebuah tapak seluas -+5000km2 itu. KORUPSI PUN ga dihukum kok, asal dalam mimpi ya. Bermimpi tidak dilarang.
Sekarang giliran saya bermimpi:
Pada suatu hari (????)(zzzzzzzzz)…..entah bagaimana aku melayang-melayang. Dan … tiba-tiba berada pada bentangan sebuah daratan; hamparan nyiur, ringkik mahluk berkaki empat yang oleh orang-orang disitu sebut zigelo, ucapan “yaahowu” yang ramah namun dengan aksen yang tegas…. Oh….. kesan pertama yang indah.
………………zzzzzzzzzzzzzz……………………
Lalu, oh….sungai yang jernih, hutan rimbun berdandan sinar matahari keemasan….selaksa lipstik alam yang agung…Lalulintas kehidupan yang teratur, anak-anak yang sehat ceria berkejaran di di pinggir kebun coklat.
………………zzzzzzzzzzzzzz……………………
………………………………………………..
Tiba-tiba hening!!!! dan aku terbangun. Oh Tuhan, aku masih di sini rupanya. Di pondok kumuh peninggalan bapakku. Aku masih disini, terlantar di pucuk gunung yang terpencil. Tadi siang ketika aku turun ke desa membeli sebotol minyak tanah, berjalan dengan kaki tak beralas. Aku sempat menonton tv di sebuah kedai. Di layar kaca itu, aku melihat gambar-gambar indah (seakan surga bagiku) betapa ada sebuah tempat dengan kendaraan yang berimpitan tapi tak ada tabrakan. Oh dunia yang tertib. Hanya ada dalam mimpiku yang indah.
Mimpiku berakhir, dan kutemukan hamparan bukit yang tandus disekitarku, lembah-lembah yang tergerus arus sungai, anak-anak berlari tanpa alas kaki dengan perut buncit, sekolah yang reyot, jalan raya penuh kubangan, pasar yang kumuh dan bau, wc terminal yang menyengat, sungai yang keruh (air yang melimpah di nadi sungai itu apakah menjadi kubangan 700.000 manusia?). Peradaban macam apa ini? Apa namanya ini, kabupaten, propinsi, kota, kampung, kubangan atau benteng istana kerjaan romawi yang baru runtuh setelah 2000 tahun tak dilirik oleh sejarah? Oh saudaraku, kau boleh beri aku apa saja, entah propinsi, entah kabupaten, entah kecamatan, entah sebuah peternakan. Tapi jangan lupa lampirkanlah sebentang hutan yang teduh, pepohonan yang rimbun buat menyimpan energi peradaban masa depan kami.
Yaahowu,
Salam Hijau Lestari
Reply
4.
Marinus W. said
March 13, 2008 at 3:31 am

Yaahowu!

Salam kenal, salam kasih Bapak Giafita Daeli dan Bapak Dapati Giawa. Terima Kasih atas komentar kalian. Komentar Bapak-bapak tentang tulisan diatas membuat saya sangat tersentuh, seolah-olah hidup ini tidak hanya sampai di sini. Tapi masih ada hidup yang lebih baik lagi, lebih sejahtera, tentram di masa yang akan datang. Tentu untuk mencapai hidup yang lebih baik, sejahtera, dan tentram tersebut harus disertai sebuah perjuangan. Dan perjuangan itulah yang sedang kita galang untuk membangun Nias yang merdeka, sejahtera, tentram, dan berakhlak mulia.

Karena itu, saya sebagai Moderator Media Nias Baru sangat berterima Kasih atas komentar dari Bapak-bapak semua. Semoga kasih Tuhan yang maha pengasih selalu menyertai kita semua

Onomi: Marinus Waruwu, Mahasiswa Universitas Parahyangan, Bandung

Mari Lanjutkan Perjuangan Kita!

Kaum Muda di Tengah Kegelisahan Bencana

Opini
Kaum Muda di Tengah Kegelisahan Bencana
Oleh Vianney Leyn, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-Flores
Selasa, 27 Oktober 2009 | 14:39 WITA
TENTU masih terekam baik dalam ingatan kita peristiwa kosmik yang mengguncang Padang Pariaman, Sumetera Barat, 30 September 2009. Gempa yang berkekuatan 7,6 SR itu tidak hanya meruntuhkan gedung-gedung megah ataupun gubuk tempat tinggal masyarakat kecil, tetapi juga merobohkan cita-cita dan masa depan para korban.
Guncangan bumi sesaat itu menelan banyak korban. Skenario kehidupan yang telah dirancang oleh manusia akhirnya menjadi sebuah kisah dengan alur yang lain sama sekali, pada latar puing-puing duka reruntuhan. Kegembiraan dan tawa pun berubah menjadi kesedihan dan air mata; suka cita berubah menjadi duka cita ketika orang menyaksikan realitas kehancuran itu: bukan hanya tempat tinggal dan harta benda tetapi juga sanak keluarga dan sahabat kenalan yang hilang -- terkubur dalam pejam abadi mereka. Cerita hidup seolah-olah diputuskan secara tiba-tiba tanpa meminta sebuah persetujuan atau kompromi ketika kafan kematian datang menudung.

Gempa yang mengguncang Padang rupanya juga turut menggetarkan hati seluruh warga Indonesia, juga warga dari luar negeri. Tangisan duka para korban juga terdengar sampai di kejauhan; lantas uluran tangan kasih mulai menjamah-membantu dari kekurangan. Itulah 'solidaritas yang mendesak' (Paul Budi Kleden, Pos Kupang, 10 Oktober 2009) yang tercipta dari momentum bencana alam, Rabu 30 September 2009 karena orang merasa 'yang lain' adalah bagian dari ada-nya; atau menyitir filsuf Gabriel Marcel, esse est co-esse, ada berarti ada bersama dengan yang lain.

WS Rendra, sastrawan kaliber yang telah berpulang itu, pada tahun 1977 pernah menulis sebuah sajak anak muda. Pada bait terakhir sajaknya itu, Rendra, si 'burung merak' menulis demikian: Kita adalah angkatan gagap/Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar/Daya hidup telah diganti oleh nafsu/Pencerahan telah diganti oleh pembatasan/Kita adalah angkatan yang berbahaya. Larik-larik ini sesungguhnya melukiskan kecemasan dan kegelisahan Rendra atas diri kaum muda.

Dia melihat bahwa kaum muda lebih banyak dituntut untuk patuh ketimbang bertukar pikiran. Anak-anak disiapkan untuk menjadi instrumen industri dan alat birokrasi. Rendra menjadi begitu cemas dengan kaum muda yang hidup dalam realitas seperti itu pada zamannya: Kita adalah angkatan yang berbahaya!
Realitas bencana alam dan bencana kemanusiaan di atas tentu juga mempengaruhi kaum muda zaman kini karena mereka juga merupakan bagian dari dunia kehidupan (lebenswelt). Di hadapan realitas bencana alam yang terus mengancam seperti gempa bumi, banjir dan tanah longsor, kaum muda merasa terusik dan gelisah: akankah bencana alam itu kembali menggucang dan melanda bumi?

Kegelisahan kaum muda akan semakin menggumpal ketika mereka tahu bahwa bukan hanya bencana alam tetapi lebih lagi bencana kemanusiaan yang merupakan realitas yang paling menakutkan seperti aksi terorisme, eksploitasi terhadap alam secara tidak bertanggung jawab, pengambilan hak milik seperti tanah untuk dijadikan lahan pengerukan keuntungan sebanyak mungkin bagi kepentingan segelintir orang dan juga sebagai lahan korupsi. Kaum muda merasa gelisah bahwa mereka akan kehilangan hak milik atas tanah sebagai tempat mereka berpijak dan meniti hidup, gelisah karena ancaman dan aksi terorisme yang terjadi secara tiba-tiba ketika mereka sedang meraih cita-cita yang masih samar-samar bayang; gelisah karena bumi yang semakin tua dan sakit lantaran terus dilukai. Dan sesunggunya bumi kita juga sedang gelisah. Kegelisahan anak muda dan kegelisahan bumi adalah juga kegelisahan kita semua.*

Kaum Muda dan Kebangkitan Bangsa

Sabtu, 17 Mei 2008 | 00:33 WIB
Oleh Indra Jaya Piliang
Harga bahan bakar minyak dipastikan akan naik. Tingkat kenaikan itu bisa mencapai 30 persen. Pertaruhannya sekarang terletak pada seberapa kuat pemerintah berhadapan dengan seberapa masif gerakan antipemerintah. Karena pemerintahan jauh lebih kuat daripada rakyatnya, jawaban atas pertaruhan itu sudah selesai. Pemerintah akan terus-menerus menang, lalu rakyat hadir sebagai pecundang.
Padahal, tahun ini adalah 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Sebuah bangsa yang hanya menjadi nomor tiga di negara sendiri, setelah bangsa Eropa dan Timur Asing telah bangkit dari keterbelakangannya lewat perjuangan dengan memanfaatkan celah-celah kebaikan dari kolonialisme sendiri: jalur pendidikan.
Kita boleh saja mengatakan kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945. Sebuah proklamasi bukan berarti sebuah kelahiran. Ada banyak tali-temali dalam sejarah. Pengaruh-memengaruhi, saling- silang kepentingan, serta terlebih lagi ide-ide yang terus sambung- menyambung. Atas dasar itu, kelahiran Indonesia sudah diberikan oleh napas perlawanan atas ketertindasan. Kedatangan bangsa-bangsa kolonial hanya bagian dari percepatan untuk menemukan kesejatian tujuan, yaitu kesetaraan martabat manusia.
Kaum muda adalah pengambil sikap utama. Mereka ditakdirkan lahir sebagai kekuatan oposisi. Tanpa harus paham dengan keunggulan bangsa-bangsa lain, kaum muda ini mengimajinasikan zaman baru yang ingin bebas dari penindasan.
Kapitalisme global
Kita melompat ke masa kini ketika konsumtivisme menjadi tilik sandi bagi beroperasinya kapitalisme global. Atas nama konsumtivisme itu, lahir mentalitas instan dengan gaya hidup yang melebihi penghasilan. Ketika demokrasi memantapkan tiang- tiang pancangnya, kekuasaan menjadi tujuan dan setelah itu tidak ada lagi.
Itu yang kita lihat sekarang ketika kekuasaan yang hanya menggunakan kalkulasi berdasarkan matematika untung-rugi. Kekuasaan yang terlalu yakin dengan kesimpulan-kesimpulannya, lalu membiarkan masyarakat saling memusuhi atas nama agama. Kekuasaan yang tidak mau berhemat dan asketis, apalagi bekerja-keras untuk menggerakkan bangsa ini mengejar sebuah tujuan bersama. Kekuasaan yang tidak mau dan tidak mampu menjadi pelayan bagi rakyatnya.
Sepuluh tahun Reformasi sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak banyak keberhasilan yang dicapai. Penderitaan dan pengorbanan rakyat untuk meneruskan zaman baru ini kenyataannya dibalas dengan penderitaan baru. Apa gunanya banyak diskusi ilmiah di Istana Negara, penyusunan naskah akademis di kantor-kantor pemerintah, serta berbusa-busa dalam perdebatan di Senayan kalau pada akhirnya penyelesaian atas masalah lama dilakukan dengan menggunakan cara lama pula?
Menaikkan harga BBM sungguh semudah perhitungan 1 tambah 1 sama dengan 2. Kita dipaksa percaya bahwa subsidi untuk orang-orang kaya yang punya kendaraan jauh lebih banyak daripada subsidi untuk kaum tani dan nelayan. Namun, dalam 10 tahun, kita tak pernah ditunjukkan satu petani dan nelayan miskin pun yang tiba-tiba menjadi kaya karena program pemerintah. Harga pangan global melejit naik, sementara harga dasar gabah hanya boleh naik 10 persen.
Yang kita dengar hanya parade kepikunan. Kepikunan yang bukan penyakit ketika alam dan waktu menunjukkan keperkasaannya. Namun, yang pikun di sini terdiri atas kalangan pemimpin. Mereka yang dipilih atas dasar kepercayaan, mitologi, dan harapan rakyat.
Seratus tahun kebangkitan dan 10 tahun Reformasi hanya menghasilkan kata-kata yang bersiponggang. Pemimpin-pemimpin yang berganti-ganti. Sementara ketika bangsa mulai perlahan tenggelam, lalu rakyat terlebih dahulu karam dalam kubangan penderitaan, tidak lagi menjadi sumber keresahan.
Lalu, di mana kaum muda? Sebagian terjerumus dalam magnet kekuasaan. Mereka yang secara cepat menyepelekan amanat penderitaan rakyat. Kaum muda yang tidak lagi gelisah, tetapi sudah menjadi bagian dari kemapanan kekuasaan itu sendiri. Mereka yang berdiri tegap, menghormat kepada para pemimpin masing-masing, kalau perlu menjadi pagar hidup menghadapi rakyat yang gelisah.
Masihkah kita berharap pada kebangkitan bangsa? Atau inikah awal bagi kebangkrutan bangsa?
Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Puisi dan Kaum Muda Ahluwalia

AMHERST College, AS, 26 Oktober 1963. Musim gugur mulai membalut kota New York. Presiden AS John Fitzgerald Kennedy (1917�1963), hari itu berpidato untuk Robert Frost Library dengan kata-kata yang menyentuh:
"Ketika kekuasaan menyeret manusia ke arah arogansi, puisi mengingatkan bahwa manusia punya keterbatasan. Ketika kekuasaan mendangkalkan area kepedulian, puisi mengingatkan bahwa eksistensi manusia itu kaya dan punya banyak ragam. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkannya." (New York Times, 27 September1963)
Kelak kalimat-kalimat Kennedy itu, yang disampaikan untuk menghormati penyair kesohor AS, Robert Frost, menjadi populer di kalangan kaum muda. Sehingga muncullah metafora "ketika politik mengotori masyarakat, maka puisi akan membersihkannya."
Tapi di zaman modern ini, barangkali hanya sedikit mahasiswa, remaja, dan kaum muda yang peduli puisi. Selebihnya adalah anak-anak remaja dan muda yang gelisah, bimbang, atau sibuk bekerja. Atau ada yang malahan bingung mencari uang dan karir. Atau malah bingung karena "kelebihan uang" di tengah kesulitan hidup banyak orang.
Kaum muda kita mungkin berada pada situasi seperti ini: Di satu sisi, birokrasi dan demokrasi prosedural yang meracuni bahasa dengan janji dan retorika belaka, dan di sisi lain puisi, kini kian jauh dari kehidupan remaja maupun kaum muda.
Namun hidup adalah pergulatan dan perjuangan. Meminjam frase Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Karena itu, kaum muda yang kini semakin bergairah dalam memandang demokrasi dan masa depan Indonesia, seyogianya terus mencari alteratif dan inovasi kreatif untuk memperbarui sendi-sendi kehidupan berbangsa-bernegara yang sudah digariskan oleh para pendahulu dan pemimpin senior kita.
Artinya, dengan optimisme, kaum muda harus berani memperbarui dan menyempurnakan republik ini dalam menapak ke depan, di bidang ilmu pengetahuan, seni-budaya, sosial-ekonomi, lingkungan, dan di segala lapangan kehidupan.
Kaum muda adalah harapan! Dan harapan adalah cahaya yang memotivasi perjuangan yang mesti diilhami nilai heroisme 10 November 1945.

Buku 28 Juni 2009 | 11:35 wib Impian Kaum Muda tentang Presiden

Judul : Andai Presiden Sehebat Harry Potter
Penulis : Roy Thaniago Dkk.
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 188 halaman
AKHIR-akhir ini, muncul kekhawatiran publik bahwa kaum muda semakin apatis terhadap dunia politik. Kekhawatiran ini dilihat dari krisisnya generasi muda dalam regenerasi kepemimpinan politik. Di samping itu, publik menilai sense kaum muda untuk membicarakan gejolak politik semakin menjauh. Kaum muda diklaim banyak terlibat dalam gejolak budaya pop dan terasing darihiruk-pikuk politik praktis.
Kekhawatiran publik tersebut memang layak. Karena dalam gerak sejarah Indonesia, kaum muda selalu memainkan peran kunci dalam gerak transisi kebangsaan. Sejak era kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, kaum muda menjadi kunci terhapusnya imprealisme dan otoritarianisme kekuasaan. Kaum muda dengan jiwa idealismenya selalu berdiri pada garda depan dalam membela nasionalisme dan tumpah darah Indonesia. Tak salah kalau Pramoedya Ananta Toer pernah berujar,”Ya, yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda.”
Kaum muda itu gelisah, resah, dan mencoba merumuskan kepemimpinan bangsa di masa depan. Keresahan mereka itulah yang ditulis dalam buku bertajuk Andai Presiden Sehebat Harry Potter.
Buku ini bisa dikatakan sebagai mimpi politik kaum muda menjelang Pilpres mendatang. Mereka yang sedang bergelora dan bergejolak nalar politiknya mencoba merangkai bunga rampai pemikiran dengan ”bebas” dan ”memihak”. Tulisan mereka terkesan ”bebas” memberontak fakta pemimpin Indonesia yang kadang elitis, kebal hukum, dan jauh dari kesusahan rakyat. Tulisan mereka juga terlihat ”memihak”, karena mereka tidak rela kalau kaum kecil marjinal tidak dibela hak dan martabatnya oleh pemimpin.
Dalam tulisan Roy Thaniago yang bertitel ”Selamat Pagi, Mas Presiden!”, terlihat sekali keberanian penulis. Untuk menyapa Presiden saja, dia tidak mau menggunakan kata ”Bapak”, tetapi ”Mas”. Roy ingin menegaskan bahwa presiden Indonesia haruslah mereka yang berjiwa muda, bersemangat kaum muda, bersemangat untuk terus melakukan perubahan. Kalau Indonesia dipimpin presiden berjiwa menua, bagi Roy, Indonesia akan terlelap tidur dalam indahnya malam. Karena presiden yang menua tak pernah mau bangun dan bekerja di siang hari.
Dengan menyapa ”Mas”, Roy juga ingin menegaskan bahwa presiden juga sejajar dengan kaum muda lainnya. Terpilih menjadi presiden bukan jurang untuk bisa akrab dan bersama kaum muda untuk merembug masa depan bangsa. Selalu bercengkrama dengan kaum muda inilah yang dulu diperlihatkan Bung Karno ketika memimpin Indonesia. Setiap sore dan pagi, Bung Karno selalu berdiskusi dengan kaum muda di pinggir atau dibelakang istana negara. Bung Karno tidak mau berdiskusi di dalam istana. Beliau senang di luar istana, karena akanlebih mudah akrab dan ”bebas” membicarakan persoalan dengan kaum muda.
Pempimpin yang Kuat
Di samping menyuarakan pemimpin Indonesia yang merakyat, kaum muda ini juga memimpikan pemimpin yang kuat, tegar, dan tak menyerah dengan fakta permasalahan. Ini bisa dilihat dari tulisan Anton Lunardi yang judul ”Dicari: Seorang Superhero untuk Jadi Presiden” dan Berto Tukan dengan judul ”Andai Presiden Sehebat Harry Potter”. Keduanya menginginkan pemimpin Indonesia tidak hanya bisa berkampanye dan mengobral janji manis bagi rakyat. Pemimpin Indonesia bukan sekadar bisa memajang foto manis di koran, iklan bersama kaum miskin, atau dengan jargon-jargon simbolik yang terkadang menipu.
Presiden Indonesia haruslah berkekuatan ”hero” atau ”harry potter”. Dialah pemimpin yang berani di garda depan dalam menyelesaikan berbagai problem. Berani menempuh langkah besar, bahkan berani mempertaruhkan jiwa-raganya untuk kejayaan Indonesia. Bertekad besar mewujudkan segala impian rakyatnya untuk lebih maju dan sejahtera. Bertaruh dengan sungguh seratus persen untuk perjuangan Indonesia. Itulah pemimpin yang akan menghadirkan keajaiban kebijakan yang spektakuler.
Dalam konteks ini, menarik yang diungkapkan Bung Syahrir, bahwa hidup yang tak dipertaruhkan, hidup yang tak dimenangkan. Selain itu, kaum muda ini juga menyuarakan visi kerakyatan presiden mendatang. Lewat tulisan bertajuk ”Andai Presiden Kita Mau Nongkrong di Terminal”, Elsye Christieyani Susanto memaparkan sosok presiden yang tidak canggung dengan kaum kecil di pinggiran. Tidak usahlah bagi presiden dengan banyak pengawal ketika mau nongkrong di terminal. Presiden perlu membiasakan diri bergaul dengan berbagai kaum miskin di pinggir peradaban yang kumuh dan kumal.
Presiden perlu melihat kekumuhan, kesemrawutan, dan keriuhan warga di berbagai tempat. Bahkan kalau perlu ”menyamar” agar bisa melihat langsung tanpa kawalan, tanpa simbol politik, dan tanpa keriuhan pejabat lokal menyambut kedatangan presiden. Visi kerakyatan inilah yang harus melekat dalam diri presiden. Terjebak dalam elitisme hanya menjadikan presiden yang miskin referensi ihwal nasib kaum kecil. Sangat sulit, bahkan mustahil, kalau tidak merasakan nasib kaum miskin, kebijakan presiden bisa mengentaskan kemiskinan dan mensejahterahkan kaum marjinal.Etos berfikir kaum muda yang tertuang dalam buku ini menjadi harapan penting bagi Indonesia menjelang Pilpres mendatang. Harapan itu, bagi kaum muda, pastilah ingin menjadi kenyataan. Kita tunggu dan kita lihat kontestasi para kandidat menjelang Pilpres. Siapakah yang paling berani mewujudkan impian di atas? Kita tunggu bersama jawabannya. (73)
(Muhammadun AS/)

Di Abad 21, Para Pemuda yang Gelisah

Pemilu 2009 mengingatkan kejadian 1928 yang nekad itu. Beberapa anak-anak muda mewacanakan saatnya para pemuda memimpin bangsa. Anak-anak muda ini belum 50 tahun, mereka berumur sekitar 45 tahun. Cukup muda sebagai pemimpin bangsa.

Mereka mengingatkan sudah sewajarnya Indonesia dipimpin pemuda. Mereka menyebut pada sosok Bung Karno yang menjabat presiden di usia 44 tahun, juga Suharto yang menjadi presiden di usia 46 tahun. Pemuda di sini adalah tokoh muda, yang usianya belum genap 50 tahun. Idenya, tokoh-tokoh muda itu harus berkompetisi dengan mereka yang berusia di atas 50 tahun: Megawati (61), Susilo Bambang Yudhoyono (60), Sutiyoso (64), Wiranto (61) dan Jusuf Kalla (66).

Dalam sebuah diskusi yang dihadiri Menneg Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor Saifullah Yusuf, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Yuddy Chrisnandi dan Rektor Universitas Paramadina Dr Anies Baswedan, tokoh-tokoh muda itu membincangkan kemungkinan Indonesia bakal dipimpin tokoh muda.

Mereka memiliki beberapa pokok pikiran. Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengatakan saat ini sejarah kembali memanggil kaum muda untuk bisa menjadi pemimpin, sementara itu Yuddy Chrisnandi mengatakan kaum muda yang mampu jangan takut maju menjadi capres. Lalu, Anis Baswedan mengatakan jika pemuda bisa menjawab secara nyata permasalahan bangsa saat ini, seperti kemiskinan, maka dengan sendirinya rakyat akan mendukung pemuda serta Adhyaksa mengingatkan ia masih menjadi pembantu presiden dan baru akan membicarakan masalah capres tiga bulan sebelum pilpres dilaksanakan.

Gus Ipul mengatakan bahwa dahulu kaum muda muncul saat sejarah memanggil mereka seperti Gajah Mada (Patih Kerajaan Majapahit) serta termasuk Soeharto. Akan tetapi Gus Ipul mengingatkan mereka hadir dengan ide dan kekuatan yang besar, suatu hal yang juga harus dimiliki oleh kaum muda saat ini yang ingin muncul sebagai pemimpin bangsa.

Gus Ipul sendiri tidak pesimis terhadap potensi kaum muda untuk memimpin bangsa. “Banyak yang potensial,” katanya. Antara lain menyebut nama seperti Yuddy Chrisnandi yang telah menyatakan siap menjadi capres dan Anis Baswedan yang merupakan tokoh intelektual muda.

Sementara itu Yuddy secara tegas mengatakan generasi muda harus berani menjadi calon pemimpin alternatif. “Saya imbau pemuda untuk tampil dan bangkit. Jangan ragu dan takut jikan ingin maju sebagai capres,” katanya. Yuddy mengatakan, kaum muda sangat berperan dalam sejarah seperti pada tahun 1908 (kebangkitan nasional), 1928 (Sumpah Pemuda) 1966 (melawan komunis) dan 1998 (menjatuhkan orde baru).

Di manapun anak muda adalah sumbu ledak, yang siap melakukan perubahan. Bila mereka mampu, mengapa tidak. Negeri ini butuh tenaga baru, yang menyegarkan Indonesia.

Dunia Kaum Muda Bergelisah

Dunia Kaum Muda Bergelisah adalah rangkaian artikel - artikel yang berbicara mengenai peran kaum muda di Indonesia dan peran dan perkembangannya baik itu sebagai bahan analisis, penelitian, ide , gagasan untuk mempermudah edtitor blog utama yakni http://www.yanuaranguloblogspot.com.