Wednesday, November 18, 2009

Kaum Muda dan Kebangkitan Bangsa

Sabtu, 17 Mei 2008 | 00:33 WIB
Oleh Indra Jaya Piliang
Harga bahan bakar minyak dipastikan akan naik. Tingkat kenaikan itu bisa mencapai 30 persen. Pertaruhannya sekarang terletak pada seberapa kuat pemerintah berhadapan dengan seberapa masif gerakan antipemerintah. Karena pemerintahan jauh lebih kuat daripada rakyatnya, jawaban atas pertaruhan itu sudah selesai. Pemerintah akan terus-menerus menang, lalu rakyat hadir sebagai pecundang.
Padahal, tahun ini adalah 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Sebuah bangsa yang hanya menjadi nomor tiga di negara sendiri, setelah bangsa Eropa dan Timur Asing telah bangkit dari keterbelakangannya lewat perjuangan dengan memanfaatkan celah-celah kebaikan dari kolonialisme sendiri: jalur pendidikan.
Kita boleh saja mengatakan kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945. Sebuah proklamasi bukan berarti sebuah kelahiran. Ada banyak tali-temali dalam sejarah. Pengaruh-memengaruhi, saling- silang kepentingan, serta terlebih lagi ide-ide yang terus sambung- menyambung. Atas dasar itu, kelahiran Indonesia sudah diberikan oleh napas perlawanan atas ketertindasan. Kedatangan bangsa-bangsa kolonial hanya bagian dari percepatan untuk menemukan kesejatian tujuan, yaitu kesetaraan martabat manusia.
Kaum muda adalah pengambil sikap utama. Mereka ditakdirkan lahir sebagai kekuatan oposisi. Tanpa harus paham dengan keunggulan bangsa-bangsa lain, kaum muda ini mengimajinasikan zaman baru yang ingin bebas dari penindasan.
Kapitalisme global
Kita melompat ke masa kini ketika konsumtivisme menjadi tilik sandi bagi beroperasinya kapitalisme global. Atas nama konsumtivisme itu, lahir mentalitas instan dengan gaya hidup yang melebihi penghasilan. Ketika demokrasi memantapkan tiang- tiang pancangnya, kekuasaan menjadi tujuan dan setelah itu tidak ada lagi.
Itu yang kita lihat sekarang ketika kekuasaan yang hanya menggunakan kalkulasi berdasarkan matematika untung-rugi. Kekuasaan yang terlalu yakin dengan kesimpulan-kesimpulannya, lalu membiarkan masyarakat saling memusuhi atas nama agama. Kekuasaan yang tidak mau berhemat dan asketis, apalagi bekerja-keras untuk menggerakkan bangsa ini mengejar sebuah tujuan bersama. Kekuasaan yang tidak mau dan tidak mampu menjadi pelayan bagi rakyatnya.
Sepuluh tahun Reformasi sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak banyak keberhasilan yang dicapai. Penderitaan dan pengorbanan rakyat untuk meneruskan zaman baru ini kenyataannya dibalas dengan penderitaan baru. Apa gunanya banyak diskusi ilmiah di Istana Negara, penyusunan naskah akademis di kantor-kantor pemerintah, serta berbusa-busa dalam perdebatan di Senayan kalau pada akhirnya penyelesaian atas masalah lama dilakukan dengan menggunakan cara lama pula?
Menaikkan harga BBM sungguh semudah perhitungan 1 tambah 1 sama dengan 2. Kita dipaksa percaya bahwa subsidi untuk orang-orang kaya yang punya kendaraan jauh lebih banyak daripada subsidi untuk kaum tani dan nelayan. Namun, dalam 10 tahun, kita tak pernah ditunjukkan satu petani dan nelayan miskin pun yang tiba-tiba menjadi kaya karena program pemerintah. Harga pangan global melejit naik, sementara harga dasar gabah hanya boleh naik 10 persen.
Yang kita dengar hanya parade kepikunan. Kepikunan yang bukan penyakit ketika alam dan waktu menunjukkan keperkasaannya. Namun, yang pikun di sini terdiri atas kalangan pemimpin. Mereka yang dipilih atas dasar kepercayaan, mitologi, dan harapan rakyat.
Seratus tahun kebangkitan dan 10 tahun Reformasi hanya menghasilkan kata-kata yang bersiponggang. Pemimpin-pemimpin yang berganti-ganti. Sementara ketika bangsa mulai perlahan tenggelam, lalu rakyat terlebih dahulu karam dalam kubangan penderitaan, tidak lagi menjadi sumber keresahan.
Lalu, di mana kaum muda? Sebagian terjerumus dalam magnet kekuasaan. Mereka yang secara cepat menyepelekan amanat penderitaan rakyat. Kaum muda yang tidak lagi gelisah, tetapi sudah menjadi bagian dari kemapanan kekuasaan itu sendiri. Mereka yang berdiri tegap, menghormat kepada para pemimpin masing-masing, kalau perlu menjadi pagar hidup menghadapi rakyat yang gelisah.
Masihkah kita berharap pada kebangkitan bangsa? Atau inikah awal bagi kebangkrutan bangsa?
Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

No comments:

Post a Comment