Wednesday, November 18, 2009

Kaum Muda di Tengah Kegelisahan Bencana

Opini
Kaum Muda di Tengah Kegelisahan Bencana
Oleh Vianney Leyn, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-Flores
Selasa, 27 Oktober 2009 | 14:39 WITA
TENTU masih terekam baik dalam ingatan kita peristiwa kosmik yang mengguncang Padang Pariaman, Sumetera Barat, 30 September 2009. Gempa yang berkekuatan 7,6 SR itu tidak hanya meruntuhkan gedung-gedung megah ataupun gubuk tempat tinggal masyarakat kecil, tetapi juga merobohkan cita-cita dan masa depan para korban.
Guncangan bumi sesaat itu menelan banyak korban. Skenario kehidupan yang telah dirancang oleh manusia akhirnya menjadi sebuah kisah dengan alur yang lain sama sekali, pada latar puing-puing duka reruntuhan. Kegembiraan dan tawa pun berubah menjadi kesedihan dan air mata; suka cita berubah menjadi duka cita ketika orang menyaksikan realitas kehancuran itu: bukan hanya tempat tinggal dan harta benda tetapi juga sanak keluarga dan sahabat kenalan yang hilang -- terkubur dalam pejam abadi mereka. Cerita hidup seolah-olah diputuskan secara tiba-tiba tanpa meminta sebuah persetujuan atau kompromi ketika kafan kematian datang menudung.

Gempa yang mengguncang Padang rupanya juga turut menggetarkan hati seluruh warga Indonesia, juga warga dari luar negeri. Tangisan duka para korban juga terdengar sampai di kejauhan; lantas uluran tangan kasih mulai menjamah-membantu dari kekurangan. Itulah 'solidaritas yang mendesak' (Paul Budi Kleden, Pos Kupang, 10 Oktober 2009) yang tercipta dari momentum bencana alam, Rabu 30 September 2009 karena orang merasa 'yang lain' adalah bagian dari ada-nya; atau menyitir filsuf Gabriel Marcel, esse est co-esse, ada berarti ada bersama dengan yang lain.

WS Rendra, sastrawan kaliber yang telah berpulang itu, pada tahun 1977 pernah menulis sebuah sajak anak muda. Pada bait terakhir sajaknya itu, Rendra, si 'burung merak' menulis demikian: Kita adalah angkatan gagap/Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar/Daya hidup telah diganti oleh nafsu/Pencerahan telah diganti oleh pembatasan/Kita adalah angkatan yang berbahaya. Larik-larik ini sesungguhnya melukiskan kecemasan dan kegelisahan Rendra atas diri kaum muda.

Dia melihat bahwa kaum muda lebih banyak dituntut untuk patuh ketimbang bertukar pikiran. Anak-anak disiapkan untuk menjadi instrumen industri dan alat birokrasi. Rendra menjadi begitu cemas dengan kaum muda yang hidup dalam realitas seperti itu pada zamannya: Kita adalah angkatan yang berbahaya!
Realitas bencana alam dan bencana kemanusiaan di atas tentu juga mempengaruhi kaum muda zaman kini karena mereka juga merupakan bagian dari dunia kehidupan (lebenswelt). Di hadapan realitas bencana alam yang terus mengancam seperti gempa bumi, banjir dan tanah longsor, kaum muda merasa terusik dan gelisah: akankah bencana alam itu kembali menggucang dan melanda bumi?

Kegelisahan kaum muda akan semakin menggumpal ketika mereka tahu bahwa bukan hanya bencana alam tetapi lebih lagi bencana kemanusiaan yang merupakan realitas yang paling menakutkan seperti aksi terorisme, eksploitasi terhadap alam secara tidak bertanggung jawab, pengambilan hak milik seperti tanah untuk dijadikan lahan pengerukan keuntungan sebanyak mungkin bagi kepentingan segelintir orang dan juga sebagai lahan korupsi. Kaum muda merasa gelisah bahwa mereka akan kehilangan hak milik atas tanah sebagai tempat mereka berpijak dan meniti hidup, gelisah karena ancaman dan aksi terorisme yang terjadi secara tiba-tiba ketika mereka sedang meraih cita-cita yang masih samar-samar bayang; gelisah karena bumi yang semakin tua dan sakit lantaran terus dilukai. Dan sesunggunya bumi kita juga sedang gelisah. Kegelisahan anak muda dan kegelisahan bumi adalah juga kegelisahan kita semua.*

No comments:

Post a Comment